gravatar

Wangsa Aidit - Mengenang yang Telah Beranjak Jauh



Malam itu Sobron betul-betul merasa sepi.
Sekaligus malu. Juga terhina. Jauh-jauh datang dari Paris, ia sama sekali tak beroleh sambutan. Genangan rasa kangen akan kampung halaman dan kerabat lindap dengan cara yang aneh sekaligus menyesakkan.
Itulah kali pertama Sobron menginjakkan kembali tanah Belitung. Ia datang dengan Laura, cucunya yang baru berusia 10 tahun. Malam itu Laura dibawa beberapa kerabat Sobron. 
Akan dibawa keliling. Begitu katanya.


Sobron betul-betul merana. Malam itu ia sendirian di Hotel Melati. Tak tahu hendak kemana ia. Tak ada tujuan. Tak ada satu pun kerabatnya yang menawarinya menginap.
Kerabat-kerabat Sobron hanya datang ke hotel. Itu pun tak lama. Setelah dirasa cukup,mereka pergi satu per satu.

1996 memang tahun yang masih belum ramah bagi orang-orang seperti Sobron.
Sebenarnya ia sedikit bisa memaklumi polah kerabat-kerabatnya itu. Mereka punya alasan yang masuk akal. Sobron sendiri memang tak berniat menyusahkan kerabatnya.
Ia datang hanya ingin menuntaskan rasa kangen yang sudah menjompak di ubun-ubun.
Barangkali, rasa sentimentil telah menyeret Sobron pada situasi emosi yang bergelora, sekaligus juga rapuh.
Sobron akhirnya memilih menelusuri garis pantai. Suasana sungguh sepi. Jarang sekali Sobron berpapasan dengan orang lain. Tak pelak suasana hati Sobron kian terbawa sendu. Lama-lama, Sobron mensyukuri keadaan itu. Dengan sepinya Tanjungpandan, Sobron merasa ia bisa bebas menghabiskan malam, menuntaskan rasa kangen,
merayapi bertumpuk kenangan lama, tanpa harus diimbuhi tetek bengek hiruk-pikuk orang lain.
Sobron melangkah terus. Ia ingat ketika dulu sering berkumpul dengan kawan-kawan lamanya tiap kali ia pakansi atau liburan. Liburan biasanya diisi Sobron dengan pelbagai kegiatan. Sekali waktu ia pernah mengadakan beberapa pementasan drama.
Dua tahun berturut-turut dipentaskan naskahnya Utuy Tatang Sontani, Awal dan Mira serta Bunga Rumah Makan. Sobron cum suis pernah pula mementaskan naskah Dosa Tak Berampun, saduran dari naskah Ayahku Pulang, sebuah drama Jepang yang disadur oleh Usmar Ismail. Semua pertunjukan itu sangat disukai penduduk Tanjungpandan.
Setiap kali pementasan usai, Sobron dan kawan-kawannya masih disibukkan oleh aktivitas mengemasi segala macam perangkat pementasan. Tak jarang semua baru kelar ketika jarum jam telah menunjukkan angka 24.00. Sekujur badan tentu saja terasa lelah. Dalam kondisi begitu, biasanya mereka pergi menuju pantai Tanjung Pendam. 


Di sana mereka melolosi semua pakaian yang melekat di badan. Bugil. Telanjang.
Berenang dan bermain ombak di bawah temaram sinar bulan purnama.
Sobron memercepat langkahnya. Ia ingin seegera mungkin mereguk kenangan ketika bersama kawan-kawannya telanjang bulat menantang ombak. Tapi di manakah tempat itu?

Setengah mati Sobron mencarinya. Tapi tak juga ia temukan. Tak ada lagi pantai yang landai. Pasir yang dulu menghampar putih bak permadani dari sutera terlah berganti oleh pasir berwarna hitam yang diseraki bertimbun-timbun sampah plastik. 
Pepohonan nyiur yang dulu pernah dinaikinya sembari bermain- main kini sudah tak ada lagi, berganti menjadi semak dan alang-alang yang sangat tak teratur.

Ah…
Sobron mengedarkan pandang. Sobron berharap-harap cemas.
rumah-rumah itu ternyata masih berdiri. Legalah Sobron. Ia pandangi lekat-lekat deretan rumah-rumah itu. 
Tapi Sobron lagi-lagi menangguk kecewa. Rumah-rumah yang dulu rapi, indah dan terawat itu kini telah menjadi berderet bangunan tua yang usang, tak terawat dan reot.
Sobron menghela nafas. Ada yang hilang bersama butir-butir air matanya yang jatuh bergulir pelan-pelan. 
Sobron tak tahu apa yang sebenarnya telah hilang….



NOTE: You are welcome to share my words with others – please credit “dithelen” with a link to my website.  Thanks!